JUST LIKE BUTTERFLIES
Bertempat di Times Bookstores, UPH Lippo-Karawaci, diluncurkan novel berbahasa Inggris karya Claudia Natasia (1 Oktober 2010). Di bawah ini adalah salah satu sambutan yang diberikan pada kesempatan tersebut.
Claudia tinggal di wilayah Gereja kami, St.Helena. Di gereja kami ada kelompok seumuran Claudia: Putera Altar dan Puteri Sakristi. Kalau saya perhatikan atau nguping pembicaraan mereka, biasanya yg cowok ngerumpi ttg beberapa cewek yang favorit, paling cantik. Begitu sebaliknya.
Memang wajar anak belasan tahun mulai tertarik pada lawan jenis dan menjadi dunia mereka. Pembicaraan dan focus perhatian mereka adalah tentang diri mereka dan lawan jenisnya.
Claudia nampaknya tidak demikian. Ia menulis novel. Saya mengira temanya tidak jauh dari kehidupan anak remaja, soal cinta-cinta monyet. Ternyata sama sekali tidak. Claudia menulis tentang Chantel, seorang anak adopsi yang menyendiri, kesepian dan kebencian, baik terhadap dirinya, orang tua asuhnya maupun dunia sekitarnya. Bekas luka di wajahnya menjadi symbol yang amat kuat tentang keberadaan diri anak tsb. Namun, seperti kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu, begitulah yang dialami anak gadis ini, kebenciannya berubah menjadi cinta. Perubahan ini sekaligus juga merupakan perubahan sikap dan hidupnya. Ia tidak lagi merana dan kesepian. Ia menemukan dirinya dan kebahagiaannya lewat perjumpaan dengan orang2 di sekitarnya: Whitney, Grace bahkan dengan seorang nenek tua yang baik.
Menjiwai serta melukiskan seorang tokoh remaja adopsi dengan segala keunikannya, bukanlah perkara mudah. Claudia yang mulai menulis pada usia 15 tahun telah menguraikannya dengan amat baik.
Kepekaan Claudia terhadap nasib orang yang tidak beruntung, tidak saja dilukiskan lewat tokoh Chantel, namun juga secara konkrit ia ungkapkan lewat kepeduliannya untuk membantu Panti Asuhan Ina Theresia di Maluku dari keuntungan yang ia peroleh. Sekali lagi, sesuatu yang mengagumkan untuk anak seusia Claudia.
Ketika dunia kita diwarnai pelbagai berita kerusuhan dan pertikaian antar kelompok, etnis, agama seperti yang terjadi di Jalan Ampera Jakarta, Tarakan Kaltim, HKBP Bekasi, apa yang dilakukan Claudia lewat novel dan aksinya sungguh menyejukkan. Semangat welas asih kepada sesama semacam ini harus ditularkan ke banyak orang.
Saya teringat Anne Frank, seorang gadis cilik usia 13 tahun menulis buku Harian yang amat bagus di tempat persembunyiannya di Amsterdam. Anne Frank mati sebagai salah satu korban kekejaman Nazi, Jerman. Namun buku catatannya ditemukan, dipublikasikan di diterjemahkan ke banyak bahasa di dunia. Catatan Anne Frank telah memberi inspirasi jutaan orang hingga kini.
Claudia dan novelnya, saya rasa, juga amat layak untuk dipromosikan dan disebar-luaskan supaya semakin banyak orang tertular semangatnya yang besar untuk memperhatikan sesamanya yang kurang beruntung. Profisiat, Claudia. (Heri Kartono, OSC).