Jumat, 05 November 2010

Launching Buku Claudia Natasia


JUST LIKE BUTTERFLIES

Bertempat di Times Bookstores, UPH Lippo-Karawaci, diluncurkan novel berbahasa Inggris karya Claudia Natasia (1 Oktober 2010). Di bawah ini adalah salah satu sambutan yang diberikan pada kesempatan tersebut.

Claudia tinggal di wilayah Gereja kami, St.Helena. Di gereja kami ada kelompok seumuran Claudia: Putera Altar dan Puteri Sakristi. Kalau saya perhatikan atau nguping pembicaraan mereka, biasanya yg cowok ngerumpi ttg beberapa cewek yang favorit, paling cantik. Begitu sebaliknya.

Memang wajar anak belasan tahun mulai tertarik pada lawan jenis dan menjadi dunia mereka. Pembicaraan dan focus perhatian mereka adalah tentang diri mereka dan lawan jenisnya.

Claudia nampaknya tidak demikian. Ia menulis novel. Saya mengira temanya tidak jauh dari kehidupan anak remaja, soal cinta-cinta monyet. Ternyata sama sekali tidak. Claudia menulis tentang Chantel, seorang anak adopsi yang menyendiri, kesepian dan kebencian, baik terhadap dirinya, orang tua asuhnya maupun dunia sekitarnya. Bekas luka di wajahnya menjadi symbol yang amat kuat tentang keberadaan diri anak tsb. Namun, seperti kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu, begitulah yang dialami anak gadis ini, kebenciannya berubah menjadi cinta. Perubahan ini sekaligus juga merupakan perubahan sikap dan hidupnya. Ia tidak lagi merana dan kesepian. Ia menemukan dirinya dan kebahagiaannya lewat perjumpaan dengan orang2 di sekitarnya: Whitney, Grace bahkan dengan seorang nenek tua yang baik.

Menjiwai serta melukiskan seorang tokoh remaja adopsi dengan segala keunikannya, bukanlah perkara mudah. Claudia yang mulai menulis pada usia 15 tahun telah menguraikannya dengan amat baik.

Kepekaan Claudia terhadap nasib orang yang tidak beruntung, tidak saja dilukiskan lewat tokoh Chantel, namun juga secara konkrit ia ungkapkan lewat kepeduliannya untuk membantu Panti Asuhan Ina Theresia di Maluku dari keuntungan yang ia peroleh. Sekali lagi, sesuatu yang mengagumkan untuk anak seusia Claudia.

Ketika dunia kita diwarnai pelbagai berita kerusuhan dan pertikaian antar kelompok, etnis, agama seperti yang terjadi di Jalan Ampera Jakarta, Tarakan Kaltim, HKBP Bekasi, apa yang dilakukan Claudia lewat novel dan aksinya sungguh menyejukkan. Semangat welas asih kepada sesama semacam ini harus ditularkan ke banyak orang.

Saya teringat Anne Frank, seorang gadis cilik usia 13 tahun menulis buku Harian yang amat bagus di tempat persembunyiannya di Amsterdam. Anne Frank mati sebagai salah satu korban kekejaman Nazi, Jerman. Namun buku catatannya ditemukan, dipublikasikan di diterjemahkan ke banyak bahasa di dunia. Catatan Anne Frank telah memberi inspirasi jutaan orang hingga kini.

Claudia dan novelnya, saya rasa, juga amat layak untuk dipromosikan dan disebar-luaskan supaya semakin banyak orang tertular semangatnya yang besar untuk memperhatikan sesamanya yang kurang beruntung. Profisiat, Claudia. (Heri Kartono, OSC).

Senin, 27 September 2010

Geliat Paroki St.Helena



KEGAIRAHAN DAN HARAPAN

Ibu Betty beberapa waktu yang lalu sempat kelabakan. Pasalnya, pada saat digelar sosialisasi Bulan Kitab Suci di Bedeng, ia menyediakan konsumsi untuk 30 peserta. “Dari tahun ke tahun jumlah peserta yang datang tak pernah melebihi 30 orang”, tutur bu Betty. Namun kali ini, tidak tanggung-tanggung, yang datang 86 orang. Kenyataan ini memang mengejutkan namun tentu saja menggembirakan.

Pak Lim, seorang Koordinator Wilayah mengeluh karena kegiatan Gereja terlalu banyak pada saat yang sama. “Bayangkan, Sabtu ini (25/10) ada 3 kegiatan di Gereja yang penting dan perlu. Hari Minggunya, malah ada 4 kegiatan juga, termasuk pertandingan Olah Raga. Saya bingung kemana saya harus mengerahkan warga saya!”, keluhnya. Untung bapak yang baik ini berfikir positif. “Nampaknya semua pengurus sedang amat bersemangat!”, ujarnya lagi menghibur diri.

Kegairahan yang sama dirasakan juga di tingkat lingkungan. Sebagai contoh, pengurus lingkungan St. Beda merasa puas karena pertemuan bulan Kitab Suci yang mereka gabungkan dengan acara rekreasi diikuti sebagian besar warganya. “Sungguh luar biasa, dari 30 KK St.Beda, 27 KK, termasuk anak-anak, ikut dalam kegiatan ini….sampai-sampai acara sharing harus dibagi dalam 4 kelompok”, ujar Agus Suwanto bersemangat.

Belakangan ini paroki kita memang disibukkan dengan bermacam-ragam kegiatan. Beberapa kegiatan besar antara lain rangkaian acara pesta paroki, kunjungan uskup Mgr.Ign.Suharyo Pr dalam acara misa Krisma, Malam Dana di Hotel Indonesia Kempiski serta Pelantikan Pengurus baru.

Kegairahan menggereja tentu saja menggembirakan. Memang tidak semua hal berjalan dengan sempurna. Ada juga ketidak puasan atau bahkan kritik di sana-sini, namun masih dalam batas yang wajar. Yang pasti, para pengurus paroki menanggapi secara positif geliat yang sedang terjadi di paroki St.Helena.

Pernah seorang umat memberi kesaksian bahwa di kantornya ia kerap diminta untuk mengkoordinir kegiatan. “Rekan-rekan di kantor melihat potensi pada diri saya. Karenanya saya sering dipercaya memimpin pelbagai kegiatan yang dilakukan di kantor saya!”. Ia mengakui bahwa aktivitasnya di paroki (tempat asalnya dahulu) membuat dia terlatih untuk mengorganisir suatu kegiatan secara terencana. “Saya bersyukur mendapat kesempatan aktif di paroki”, imbuhnya.

Pedoman Gereja Katolik Indonesia mengajak umat untuk aktif terlibat dalam persoalan kancah masyarakat. Kekompakan serta keterlibatan di lingkungan intern Gereja merupakan bekal positif untuk terlibat dalam masyarakat luas. Lebih jauh, kerukunan serta guyubnya umat Katolik akan dinilai positif oleh masyarakat sekitar. Paroki Helena boleh berbangga bahwa umat mempunyai kepedulian untuk berperan serta dalam kegiatan gereja. Meski demikian, kegairahan yang menggebu tanpa koordinasi yang baik, akan merepotkan para pengurusnya. Profisiat! (Heri Kartono, OSC: Majalah WARNA, Oktober 2010)

Selasa, 31 Agustus 2010

Rekoleksi Pengurus Baru



MANDI DENGAN HP DI CELANA!

Sebanyak 96 peserta mengikuti rekoleksi dan rekreasi di Hotel Retno, Anyer (28-29 Agustus). Mereka adalah para ketua lingkungan, koordinator wilayah dan seksi-seksi yang baru paroki St.Helena. Bertindak sebagai pembimbing Rekoleksi adalah Rm.M.Harry Sulistyo Pr, ketua Komsos KAJ. Adapun tema rekoleksi: Becoming a well Organized Family.

Acara dikemas dengan sangat detail dan rapih, bahkan sejak keberangkatan dan dalam perjalanan. Panitia telah bekerja keras demi acara bersama ini. Tidak heran bahwa hampir semua peserta memuji rekoleksi ini amat mengesankan dan berguna. Pak Benny Sugiharto adalah komandan panitia merangkap ketua Karaoke dan pemimpin Ibadat. Ibu Wiwik Kresentia bertindak sebagai MC, pemandu games dan “pembuat onar” sekaligus. Ibu Lili Tedja adalah seksi sibuk merangkap pencari sponsor (semua peserta mendapat kaos yang manis, radio kecil dan pelbagai hadiah lainnya seperti voucher belanja di Hypermart). Seksi konsumsi dibawah komando ibu Betty menyiapkan makanan-minuman yang bervariasi dan berkelimpahan….

Ada tiga peserta yang kebetulan merayakan ulang tahun. Panitia telah merancang acara khusus untuk mereka. Sesudah olah raga pagi, semua peserta dikumpulkan di tepi pantai. Oya, lokasi Hotel Retno memang persis di pinggir pantai. Panitia mengumumkan bahwa ada acara foto bersama. Untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan, panitia meminta peserta menyerahkan dompet, arloji dan Hand Phone peserta. Pak Idarus Supardi, salah satu yang berulang tahun tidak kelihatan, entah kemana. Sesudah acara foto selesai, bapak Thomas Didik Priyono dan Purwoko Djati yang berulang tahun, disergap beramai-ramai dan dilemparkan ke laut. Pada saat itulah muncul bapak Idarus Supardi. Rupanya pak Supardi baru selesai mandi dan necis dengan pakaian bersih. Tanpa ampun pak Supardi juga disergap dan diceburkan ke laut. Pak Supardi gelagapan dan basah kuyup, termasuk HP-nya yang tidak sempat diamankan panitia…..Pak Supardi tidak sempat marah karena ia melihat bu Lili datang membawa kue ulang tahun dan menyerahkannya kepadanya. Selamat ulang tahun pak! (Foto hasil jepretan pak Andi Singgih).

Heri Kartono, OSC

Senin, 30 Agustus 2010

Misa Krisma



BERTEMU PAUS DI PAROKI SANTA HELENA

Uskup Agung Jakarta, Mgr.Ign.Suharyo Pr berkunjung ke paroki Santa Helena, Lippo Karawaci (21/08/2010). Uskup memang diundang untuk memberikan sakramen Krisma. Sebanyak 108 orang telah disiapkan selama 3 bulan oleh panitia khusus. Mereka datang dengan pakaian atas putih dan bagian bawah gelap.

Panitia dan Dewan menyambut Uskup secara layak. Sebuah karpet merah yang baru digelar didalam Gereja untuk dilalui uskup. Hiasan gerejapun terasa lebih semarak dari biasanya. Bangku-bangku tempat duduk para krismawan/wati juga dihias cantik dengan bunga. Uskup sendiri merasa takjub melihat paroki St.Helana yang besar. “Keuskupan Jakarta bisa pindah kemari!”, ujar uskup berseloroh.

Upacara diawali dengan prosesi panjang. Ada 10 misdinar, 10 prodiakon, 2 imam dan 12 puteri sakristi ikut juga berpartisipasi. Seluruh rangkaian misa Krisma berjalan dengan lancar. Selesai misa, seluruh petugas kembali ke Sakristi dengan prosesi juga. Beberapa anak menyalami Uskup yang berjalan di bagian paling belakang. Seorang anak kecil dengan antusias berlari-lari menyongsong uskup sambil berkata keras: “SELAMAT SORE PAUS!”. Semua yang mendengar tersenyum-senyum, sementara Uskup menyambut salam anak dengan hangat.

Acara dilanjutkan dengan foto bersama. Para krismawan/wati diatur sesuai dengan wilayah masing-masing berpotret bersama Uskup. Beberapa orang mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk berfoto secara pribadi atau keluarga dengan Uskup. Untung bapak Uskup lumayan sabar. Sesudahnya, acara dilanjutkan dengan ramah tamah di bedeng dengan hiburan orkes keroncong asuhan bapak Ade dari wilayah Bonang. (Foto-foto hasil jepretan Pak Jo Hanapi).

Heri Kartono, OSC

Selasa, 10 Agustus 2010

Karyawan Pastoran


BUKAN MIKROSOF

Pak Bono adalah karyawan yang rajin, terutama kalau disuruh. Orangnya periang dan polos. Saya dan pastor Surono kerap tertawa karena ulah pak Bono yang polos itu. Tugasnya sehari-hari adalah menjaga kebersihan pastoran, mencuci pakaian dan menyiapkan makanan. Kami mendapat makanan dari umat. Pak Bono tinggal menyiapkan atau memanaskannya saja.

Suatu hari saya dan pastor Surono sedang sarapan. Sewaktu saya mengambil tahu, ternyata dingin. Sayapun memanggil pak Bono. “Pak Bono, tolong panaskan tahu ini ya!”. Dengan sigap pak Bono membawa tahu itu ke dapur. Di dapur tersedia dua kompor dan sebuah microwave. Sejurus kemudian pak Bono muncul dari balik pintu dapur dan berteriak: “Romo, manasin-nya pakai MIKROSOF saja, biar cepat ya?”. Mendengar kata mikrosof, kami langsung tertawa terbahak-bahak. Kami tahu, yang dimaksud pak Bono pastilah microwave.

Sesudah puas tertawa, saya berkata, setengah berteriak: “Pak Bono, bukan Mikrosof tapi MIKROLET…..!!”. Kami tertawa sekali lagi sampai sakit perut…

Heri Kartono OSC

Selasa, 15 Juni 2010

Retret Imam 2010


BANGGA MENJADI IMAM

Sebanyak 208 imam dari 23 keuskupan, 18 tarekat mengadakan retret bersama di Via Renata Cimacan-Cipanas (07-11 Juni). Retret yang dipimpin Mgr.Ignatius Suharyo Pr ini dibuka resmi oleh Nuntius, Mgr.Girelli. Ikut hadir dalam retret ini Mgr.J.Pujasumarta Pr dan Mgr.Hilarius Moa Nurak SVD.

“Kalau boleh memilih, saya lebih senang duduk bersama anda sebagai peserta”, ujar Mgr.Ignatius Suharyo Pr saat memulai retret. Menurut Uskup Koajitor ini, retret pertama-tama bukanlah untuk menambah pengetahuan, melainkan untuk mendengarkan Roh yang mengantar pada kebenaran. “Dengan mendengarkan Roh, harapannya kita memperoleh hidup baru, hidup yang antusias”, paparnya. Antusias berasal dari kata Yunani, entheos yang berarti dalam Tuhan.

Retret ini diselenggarakan dalam rangka penutupan Tahun Imam. Tahun Imam sendiri diadakan dengan maksud mengenang 150 tahun kelahiran Pastor Maria Vianney dari Ars, Perancis. Pastor Vianney yang sederhana dan saleh ini diangkat sebagai pelindung pastor paroki dan pelindung semua imam sekaligus. Mengutip Paus Benediktus XVI, Mgr.Suharyo menjelaskan bahwa Tahun Imam merupakan penghargaan dan terima kasih Gereja terhadap imam-imamnya. “Tidak sedikit imam yang dengan tekun dan sederhana, dari hari ke hari, melayani dan menjalankan tugasnya mengabdi Kristus dan sesama”, ujar Monsinyur.

Identifikasi dengan Orang Miskin

Mgr.Suharyo menggunakan Injil Matius sebagai bahan utama retret. Yesus, menurut Injil Matius, amat jelas mengidentifikasikan diri dengan orang kecil dan tak berdaya. “Bunda Teresa dari Kalkuta, seperti Yesus, mengidentifikasikan diri secara jelas dengan kaum miskin. Di pintu-pintu biara Misionaris Cintakasih tertulis kata Aku Haus”, suatu pesan yang kuat. Menurut Mgr.Suharyo, masalah identifikasi ini amat penting. “Imam mengidentifikasikan diri dengan siapa?”, ujarnya. “Bila kita bisa mengindentifikasikan diri dengan orang-orang yang hina, perhatikan apa yang terjadi? Mungkin kita bisa bersyukur karena dapat menyamakan diri dengan orang yang lapar, miskin dan haus”, tegasnya.

Lebih lanjut Mgr.Suharyo yang sudah 12 tahun tidak memberi retret ini bertanya: “Apa yang harus kita lakukan? Yang dilakukan orang benar itu sangat sederhana, memberi makan orang lapar, mengunjungi orang sakit, tahanan di penjara…. Itu semua merupakan hal-hal sederhana yang dipuji Injil. Mengapa kita sulit melakukannya? Mungkin karena kita terlalu pandai sehingga tidak tahu lagi hal-hal yang sederhana. Mustinya, semakin banyak kita tahu, semakin sederhanalah kita”, tutur mantan Uskup Agung Semarang ini.

Kebangkitan Kristus ditanggapi secara mendua. Sebagian murid percaya dan menyembah, sebagian lagi ragu-ragu (Mt 28: 17). Realitas mendua ini berlangsung hingga kini. Mgr.Suharyo mengajak para imam untuk mengetahui akar-akar yang membuat kita ragu-ragu dan cemas. “Kita persembahkan keraguan kita pada Tuhan dan siap menerima tugas perutusan menjadi saksi-saksiNya tanpa keraguan lagi”, ajaknya.

Retret bertema Kesetiaan Kristus, Kesetian Imam ini ditanggapi positif oleh para peserta. “Temanya menarik dan bahan yang disampaikan sungguh menyentuh, sangat membantu saya menjalani panggilan. Puji-pujian yang dilantunkan kelompok Lumen 2000 juga pas, bisa menghantar masuk ke session” ujar pastor Gabriel Dwiatmoko Pr dari Keuskupan Sintang. Komentar senada juga disampaikan peserta lain: “Bahan yang disampaikan sangat mendalam dan Mgr.Ign.Suharyo memberikannya secara ringan dan sederhana. Banyak pencerahan, terutama pemahaman Injil Matius dan hakekat imamat melalui surat Ibrani. Paling tidak membuat saya bangga menjadi seorang imam”, ujar pastor Fabianus Muktiyarso dari Keuskupan Bandung. Meski demikian, imam yang bertugas di paroki Indramayu ini memberikan juga kritikannya: “Sayang waktu yang disediakan untuk refleksi diri, untuk internalisasi bahan-bahan masih kurang!”, ungkapnya.

Wajah cerah yang dipancarkan para imam menunjukkan bahwa mereka telah mendapatkan kesegaran rohani selama retret 4 hari. Sungguh wajar bahwa imam-imam yang biasanya memberi pengajaran, kotbah atau renungan sekali waktu mendapat juga siraman rohani yang berkualitas. Kalau tidak, mereka akan kering, kehabisan inspirasi dan energi…

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 27 Juni 2010).

Rabu, 09 Juni 2010

Misa Rabu Ketiga (St.Helena)

Terima kasih pak Andi Singgih yang telah men-design poster ini.

Rabu, 02 Juni 2010

Rencontre 2010



PERTEMUAN YANG DIRINDUKAN

“Acaranya seru, asyik dan keren banget!”, ujar Vera bersemangat tentang Rencontre 2010. Acara Rencontre yang diikuti 650 anak muda ini berlangsung pada 28 Mei 2010 bertempat di paroki St.Helena, Curug.

Rencontre 2010 adalah pertemuan orang muda katolik yang berasal dari paroki St.Helena, St.Monica, St.Agustinus, St.Laurentius, St.Odilia dan St.Maria. Semuanya berada dalam wilayah dekanat Tangerang. Acara ini diadakan dalam rangka Penutupan Tahun Imam sekaligus merayakan 800 tahun lahirnya Ordo Salib Suci. Adapun tema pertemuan ini adalah Terang Salib Membawa Kebersamaan Orang Muda. Pastor Y. Surono OSC adalah pemrakarsa awal acara besar ini.

Dipimpin 10 Imam

Rencontrè dari bahasa Perancis berarti perjumpaan. Pertemuan ini diawali dengan misa akbar dengan 10 imam konselebran. Imam-imam ini berasal dari paroki-paroki dekanat Tangerang dan perwakilan Keuskupan Agung Jakarta. Rm. A.Padma Seputra SJ selaku konselebran utama, dalam kotbahnya menjelaskan sekilas sejarah Ordo Salib Suci. Ordo ini lahir ketika Perang Salib sedang berkecamuk. Pendiri Ordo ini adalah Theodorus de Celles, seorang ksatria Perang Salib. Theodorus adalah anak bangsawan dari Belgia. Pada tahun 1210 ia bersama rekan-rekannya memulai kehidupan membiara dengan mengacu pada cara hidup umat kristiani awal. Itulah cikal bakal lahirnya OSC. Ordo ini kemudian tersebar ke Eropa, Amerika Serikat dan Asia. Di Indonesia OSC ada di Keuskupan Bandung, Sibolga, Medan dan Agats, Papua. Sementara di KAJ, OSC berkarya di paroki St.Agustinus-Karawaci, St.Monika BSD, St.Laurentius dan St.Helena Curug.

Selesai Rm.Padma, kotbah dilanjutkan oleh Rm. Antonius Suyadi Pr, ketua Komisi Kepemudaan KAJ. Dengan gaya kocak, Rm.Suyadi mengajak semua peserta untuk saling berkenalan. “Siapa yang belum punya pacar, silahkan tunjuk jari!”, ujarnya disambut tawa hadirin. Dengan kotbahnya itu Rm.Suyadi berhasil mencairkan suasana yang semula kaku.

Selesai perayaan Ekaristi, semua peserta, termasuk para imam langsung menuju Plaza Gereja. Di tempat ini dilangsungkan acara pembukaan resmi Rencontre. Disaksikan semua peserta yang hadir, Rm.Padmo SJ menggunting ikatan balon-balon warna-warni. Balon-balon terbang ke langit diiringi tepuk tangan meriah hadirin menandai dimulainya temu akbar kaum muda.

Kesaksian Delon dan Sisi Idol

Selesai rehat dan ice-breaking, acara dilanjutkan dengan Talk Show. Dalam acara yang dipandu Yasinta Indrianti ini hadir 2 orang artis yakni Delon dan Sisilia Hapsari atau Sisi Idol serta Pastor Tedjo Bawono OSC. Delon dan Sisi Idol hadir untuk menghibur sekaligus memberi kesaksian. Dalam kesaksiannya, Sisi Idol mengaku bahwa pada awalnya ia adalah seorang yang tidak percaya diri, merasa tidak cantik, kecil, hitam dan tidak berpendidikan tinggi. Meski ia amat berhasrat untuk mengikuti Indonesian Idol namun ia amat ragu. Akhirnya, sesudah melakukan doa Novena, Sisil mendaftarkan diri juga. “Hari itu adalah hari terakhir pendaftaran”, kenangnya. Sisil bersyukur pada Tuhan bahwa lewat jalan yang berliku, akhirnya ia mendapat tempat terhormat dalam Indonesian Idol dan dikenal luas di seluruh Indonesia. Sisil juga berhasil menyelesaikan study S1 dan mampu menyekolahkan adiknya. Sisi Idol melengkapi kesaksiannya dengan persembahan dua buah lagu.

Sementara itu, Delon mengawali penampilannya dengan menyanyikan sebuah lagu ciptaannya. Kehadiran Delon mendapat sambutan amat antusias dari para peserta, khususnya peserta wanita. Seorang peserta mengaku amat bahagia karena berhasil berfoto bersama Delon. Sebagaimana Sisi Idol, Delon juga memaparkan perjalanan hidupnya. Ia harus berjuang keras selama bertahun-tahun sebelum ia berhasil dan dikenal luas sebagai seorang penyanyi. Delon mengakhiri kesaksiannya dengan sebuah lagu manis You Raise Me Up.

Pastor Tedjo Bawono OSC yang khusus datang dari Bandung menjelaskan antara lain keseimbangan antara iman dan ratio. Iman bukanlah sesuatu yang buta. Iman harus ditunjang oleh akal sehat. “Iman dan ratio ibarat dua sayap yang saling melengkapi. Iman saja tanpa ratio, menjadi pincang”, jelasnya. Imam muda berambut gondrong ini dengan lugas menjawab beberapa pertanyaan dari peserta, di antaranya masalah perkawinan beda agama.

Variatif dan Memancing Antusias

Selesai makan siang, acara dilanjutkan dengan games. Ada 13 jenis permainan yang berbeda dan semuanya dilakukan outdoor, di pelataran Gereja St.Helena yang memang luas. Peserta dibagi dalam 50 kelompok secara acak. Dengan demikian peserta dari pelbagai paroki berbaur dalam permainan yang sama. Permainannya amat bervariasi, antara lain outbond, estafet air, mengeluarkan bola dari paralon, menembus rintangan dengan mata tertutup. Yang pasti, setiap permainan menuntut kebersamaan serta kerja-sama setiap kelompok. Permainan yang disiapkan dengan cermat oleh para frater SDB dibantu suster CB ini membuat para peserta larut dalam keasyikan. Sorak sorai, canda tawa terus terdengar sepanjang permainan. Nyaris semua peserta basah kuyup akibat salah satu jenis permainan yang banyak menggunakan air. Untunglah panitia telah mengingatkan agar peserta membawa pakaian ekstra.

Pada malam hari, sesudah makan malam, acara dilanjutkan dengan pemotongan kue ulang tahun. Kue raksasa bertuliskan HUT 800 tahun OSC ini dipotong dan dibagi-bagikan ke semua peserta. Sesudahnya acara dilanjutkan dengan apresiasi seni. Masing-masing rombongan menampilkan kesenian yang telah mereka siapkan sebelumnya. Pada acara ini semua peserta mengenakan T.Shirt Rencontre yang dibagikan panitia secara cuma-cuma. Pentas seni sendiri diadakan dengan penerangan api unggun. Ada macam-macam jenis kesenian yang ditampilkan seperti lagu, gerak dan tarian serta break dance. Frater Eko OSC yang datang dari Bandung sebagai pengamat, menampilkan atraksi debus api. Dari dalam mulutnya, ia menyemburkan minyak yang membakar api dan menciptakan lidah-lidah api menawan. Suguhan frater dari Bandung membuat sebagian peserta harus menahan nafas karena tegang. Rangkaian acara Rencontre berakhir pada jam 21.00 sesuai jadwal yang telah ditetapkan.

Disiapkan Serius dan Berlanjut

Hampir semua peserta menyatakan kepuasannya mengikuti Rencontre 2010. “Nggak cukup satu hari, mustinya beberapa hari!”, ujar Elsye salah satu peserta. Peserta lain memuji kerja panitia yang cukup kompak. Seorang peserta dari paroki St.Monika mengeluh tentang kurangnya WC yang tersedia. “Panitia telah menambah beberapa WC ekstra, namun tetap kurang!”, keluhnya.

Fx.Jati Sasongko, ketua panitia, menjelaskan tentang tujuan Rencontre. “Acara ini diadakan agar orang muda Katolik dapat berkumpul, menuangkan ide kreatifnya, menjalin kebersamaan serta bertukar pengalaman seputar kegiatan mereka di parokinya masing-masing”, jelas Jati. Pemuda yang tidak banyak bicara ini mengaku bahwa dirinya bersama rekan-rekan yang lain telah menyiapkan acara ini sejak bulan Januari. “Panitia berjumlah 75 orang gabungan dari beberapa paroki. Supaya ada koordinasi yang baik sekaligus menjalin keakraban di antara panitia, kami mengadakan acara di Sawangan Golf Resort, bulan Februari yang lalu”, tutur Jati. Masih menurut Jati, semula target peserta adalah 500 orang namun akhirnya membludak hingga 650 orang. “Itupun karena kami stop. Kami khawatir bila peserta terlalu banyak, dana kami tidak mencukupi”, jelas Jati. Peserta memang hanya dipungut bayaran Rp 20.000,- untuk acara sepanjang hari dengan makan, minum dan pembagian kaos.

Menurut C.Sulityowati, acara Rencontre akan dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang. “Kami menjaring tim panitia untuk tahun mendatang dari peserta Rencontre yang sekarang ini”, jelas ketua Sie Kepemudaan paroki St.Helena ini.

Rencontre 2010 mendapat sambutan positif dari pelbagai pihak. Di saat melesunya aktivitas kaum muda Katolik, Rencontre 2010 terasa segar. Tidak heran bahwa perjumpaan seperti ini dirindukan kaum muda Katolik kita. (Foto2 dari Mbak Dian Sitoresmi: Sisi Idol dan Peserta saat permainan dengan menutup mata)

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 27 Juni 2010)

Kamis, 27 Mei 2010

Karyawan St.Helena


DIKIRA SOSIS!

Hari ini (27 Mei 2010) anak keenam pak Kemi, tukang kebun Gereja, disunat. Gunawan, nama anak tsb, jam 06.00 pagi sudah diantar dengan sepeda motor ke rumah pak Yanto, petugas kesehatan. Kebetulan pak Yanto adalah petugas kesehatan di Balai Pengobatan Paroki juga. Sunat dilakukan dengan cara di-laser, lebih praktis. Selesai sunat, Gunawan dibawa kembali ke rumah dengan motor yang sama.

Di rumah pak Kemi sudah menunggu hiburan meriah. Siang hari diputar musik dangdut dengan beberapa loud-speaker ukuran besar. Dengan demikian para tetangga ikut menikmati meriah-nya musik dangdut. Malam hari diputar layar tancap yang bisa dinikmati siapa saja yang datang.

Kami, rombongan dari Gereja, terdiri dari: pastor Surono, Pak Jamong, Bono, Jana, Pandi dan saya beramai-ramai ke rumah pak Kemi dengan sepeda motor masing-masing. Kami disambut hangat keluarga besar Kemi. Dengan cepat istri Kemi menyiapkan segala sesuatunya.

Sambil menunggu makanan utama disajikan, kami ngobrol di teras rumah. Tersedia beberapa jenis makanan ringan di meja seperti: kacang goreng, pisang, salak, melon dan kue-kue. Obrolan berkisar tentang sunat. Di masa lalu, sunat dilakukan secara tradisional dengan gunting atau pisau khusus. Cara itu menyisakan rasa sakit yang lebih lama. Pak Bono, petugas pastoran, mempunyai pengalaman khusus saat ia disunat. Ia mengaku bahwa sunat baginya amat mengesankan, karena ia menerima banyak kado dan uang. Namun demikian, ada satu pengalaman yang tak terlupakan, yaitu terjadinya insiden kecil atas burung-nya itu . Waktu itu Bono kecil memakai sarung dengan bagian depan terbuka lebar, supaya burung-nya yang disunat itu cepat kering lukanya. Bono tidak sadar bahwa diam-diam ada yang tertarik dan mengincar sang burung tsb. “Ketika saya sedang asyik menerima kado, tiba-tiba burung saya kesakitan. Rupanya seekor ayam mematuk burung saya yang dikira sosis itu……!”, ujar Bono disambut tawa semua yang hadir. Tidak jelas apakah sosis-nya masih utuh atau tinggal separuh…..(Foto: Pak Bono sebelah kanan, gemuk, tertawa lebar)

Heri Kartono, OSC

Kamis, 29 April 2010

Antonius Hendratno


IURAN & TATA LAKSANA

Nama resminya Antonius Hendratno, namun ia biasa dipanggil Nano saja. Pria yang ramah ini adalah salah satu anggota Dewan Paroki kita. Ia dipercaya sebagai Pendamping Kepanitiaan. Keterlibatan serta dedikasinya untuk paroki tidak diragukan lagi.
Sejak pertama hijrah ke paroki St.Helena, Nano langsung diminta oleh pengurus lingkungan untuk membantu menagih iuran. Tanpa pikir panjang, Nano menerima tugas ini. Meski belum mengenal warga dengan baik, Nano datang ke semua warga untuk menagih. Hal itu ia lakukan sesudah ia pulang kerja, artinya sesudah jam 08.00 malam. Rupanya tidak semua warga rela membayar iuran lingkungan. Alasannyapun beragam. Ada warga yang saat ditagih, dengan ringannya berkata: “Oo…maaf, kami tidak misa di paroki St.Helena tapi ke kota!”.

Nano tidak putus asa. Ia terus menjalankan tugasnya menagih iuran. Suatu hari, seperti biasa ia mengetuk pintu orang untuk menagih. Saat itu sudah agak malam, sekitar jam 21.30. Penghuni rumah yang nampaknya sudah tidur, membuka pintu dengan wajah kurang senang. Sambil meminta maaf, Nano menjelaskan maksud kedatangannya, menagih iuran lingkungan. Tak lupa Nano memberi tekanan: “Sebagai warga Katolik yang baik, kita wajib membayar iuran ini pak!”. Rupanya kali ini Nano salah sasaran. Masih dengan wajah kurang senang si bapak menjawab: “Maaf, kami ini umat Islam…..!!”.

Sebagai anggota Dewan Paroki, Nano memiliki tanggung-jawab besar. Selain aktif menghadiri rapat-rapat, ia juga mempunyai kepekaan terhadap hal-hal yang kurang beres yang dapat mengganggu ketertiban atau kenyamanan menggereja.
Pada suatu hari Minggu, seperti biasa Nano pergi ke Gereja, menghadiri perayaan Ekaristi. Saat memasuki gereja, ia melihat seorang anak kecil menangis menjerit-jerit membuat gaduh. Nanopun langsung bereaksi, mencari-cari orang tua anak tersebut. Nampaknya sang anak menangis karena kehilangan orang tuanya. Sejurus kemudian Nano melihat beberapa petugas Tata Laksana sedang bergerombol. Mereka sedang ngobrol santai dan sepertinya tidak peduli pada kegaduhan anak kecil tersebut. Merasa ikut bertanggung-jawab, Nano mendekati para petugas tata laksana. Nanopun menegur mereka: “Pak, itu anak menangis dan mengganggu ketertiban!”. Merasa ditegur oleh anak muda yang masih kencur, petugas Tata Laksana tersinggung dan balik menghardik: “Iya betul, lantas mau apa? Siapa kamu??”, bentak petugas Tata Laksana dengan galak. Nano yang tidak mau mencari keributan, langsung berlalu: “Galak bener bapak ini, diberitahu baik-baik malah sewot!”, begitu mungkin gerutu pak Nano di dalam hatinya.
Heri Kartono.

Sabtu, 24 April 2010

Dekanat Tangerang



PASTOR KAOS KAKI

Rekreasi bersama adalah salah satu sarana untuk mengakrabkan orang, selain untuk refreshing tentunya. Itulah yang dilakukan 18 pastor se-dekanat Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta (19-23 April 2010). Dalam perjalanan maupun saat menikmati pemandangan indah, mereka saling mengenal lebih baik. Keakraban inilah yang diharapkan menjadi dasar kerja sama yang baik pula.

Ada sejumlah imam yang baru beberapa bulan bertugas di wilayah Tangerang. Karenanya kesempatan rekreasi ini dimanfaatkan untuk saling berkenalan. Umumnya para pastor memiliki nama-nama “biasa” dan mudah diingat seperti pastor Bimo, Adhi, Gunawan, Ary dan Swasono. Tapi juga ada nama-nama yang tidak mudah untuk diingat, seperti pastor Kurkowski SCJ.

Pastor Kurkowski yang berasal dari Polandia ini bertugas di paroki Rasul Barnabas, Pamulang. Menurut pengakuannya, dimanapun ia bertugas, orang selalu kesulitan untuk mengingat atau bahkan untuk menyebut namanya. Pernah, saat ia bertugas di Lahat, Sumatera Selatan, seorang umat karena tidak bisa menyebut Kurkowski, dengan enaknya menyebut dia Pastor Kaos Kaki. Memang nama Kurskowski terdengar mirip KaosKaki. Untunglah pastor yang berpembawaan ramah ini tidak tersinggung. Malah, sejak saat itu nama Pastor KaosKaki lebih populer daripada nama resminya yang sulit itu.

Saat kami berkenalan, pastor yang senang dipotret ini dengan entengnya berkata: “Nama saya Pastor KaosKaki……!”. Seorang rekan imam yang berdiri di sampingnya nyeletuk: “Kaos Kaki yang sudah dicuci kan??”.

Heri Kartono. OSC

Kamis, 15 April 2010

Gagasan Cemerlang


BOLEH AJA MAM, ASAL…..

Salah satu kegiatan Bina Iman asuhan ibu Angel adalah kunjungan ke panti asuhan. Beberapa waktu yang lalu, anak-anak Bina Iman ini dibawa berkunjung ke Panti Asuhan Abhimata di kawasan Bintaro. Selain anak-anak Bina Iman, beberapa orang tua juga ikut bergabung. Di antaranya adalah Ibu Fifi dan suaminya, Agus Sutrisno.

Saat berkeliling dan bertemu dengan anak-anak panti, Ibu Fifi mengamati ada dua anak yang kelihatan berbeda. Dua anak kecil ini menenteng kamera dan masing-masing memiliki handphone canggih. “Pasti dua anak ini bukan anak panti, tapi mereka juga bukan rombongan kami!”, pikir Fifi dalam hatinya. Karena rasa panasaran, akhirnya Fifi menanyakan perihal dua anak tsb pada pimpinan panti. “Oo…mereka dititipkan orang tuanya setiap week-end. Menurut orang tuanya, mereka ini anak-anak bandel. Nah, dengan hidup bersama anak-anak panti, maka diharapkan dua anak ini bisa lebih menghargai dan menghormati orang tua mereka!”, jelas pimpinan panti asuhan. Fifi-pun mengangguk-angguk setuju.

Dalam perjalanan pulang, Fifi terus memikirkan ide menitipkan anak ke panti asuhan. “Anak-anakku, Lucky dan Rich sering bandel dan kurang menghargai orang tua. Baik juga kalau aku titipkan mereka selama week-end ke panti!”, ujar Fifi kepada dirinya sendiri. Sesudah ditimbang-timbang, akhirnya gagasan cemerlang itu ia sampaikan pada dua anak lelakinya. “Anak-anakku, bagaimana kalau kalian mama titipkan ke panti asuhan setiap week-end, supaya kalian bisa lebih menghargai orang tua?”, kata Fifi kepada kedua anaknya. Mendengar itu, dengan santai Lucky, anak yang sulung menjawab: “Boleh aja Mam, asal Mama dan Papa juga tiap week-end kami titipkan ke panti jompo……!!”.
Heri Kartono, OSC

Senin, 12 April 2010

Jejak Awal



ALASAN PENUGASAN!

Sejak 1 Februari 2010, saya pindah tugas ke paroki St.Helena, Lippo Karawaci, Tangerang. Lokasi Gereja dan pastoran agak tersembunyi di komplek perumahan Lippo Karawaci. Keseluruhan komplek ditata dengan amat baik. Orang merasa seperti tinggal di suatu perumahan di luar negeri, saking teraturnya. Tak jauh dari gereja, terdapat Rumah Sakit Siloam yang bertaraf internasional. Lebih jauh beberapa ratus meter, ada Super Mall yang megah dan serba lengkap.

Meski termasuk Paroki baru, namun sudah sangat maju, sekurangnya dari segi sarana. Gedung gereja bisa menampung 1000 jemaat. Lahan parkir juga luas. Menurut pak Satpam, pada hari besar, lahan parkir bisa dipaksa memuat lebih dari 400 mobil. Tentu saja dengan cara sedikit darurat. Kalau hanya 300-an mobil, tempat parkir relatif leluasa.

Saat ini sedang dibangun gedung serba guna dan perkantoran yang besar dan memadai. Panitia pembangunan masih sibuk mencari dan mengumpulkan dana. Sepertinya mereka optimis bahwa pembangunan akan selesai pada waktunya.

Jumlah umat di paroki ini 6.175 jiwa. Komposisi umat lumayan heterogen. Dari tukang tambal ban hingga boss yang biasa menggunakan pesawat helicopter, ada di sini. Paroki dibagi dalam 9 wilayah, 39 lingkungan. Kesan saya, keterlibatan umat dalam hidup menggereja amat baik. Banyak umat dengan pendidikan dan kemampuan yang tinggi ikut terlibat dalam aktivitas gereja.

Ketika pertama kali saya datang, saya langsung senang. Soalnya, keseluruhan lingkungan memungkinkan saya untuk bersepeda. Dan memang, hampir setiap hari saya bersepeda untuk olah raga, pagi atau sore. Di komplek perumahan yang bagus ini, saya sering melihat banyak gadis-gadis muda bergerombol, terutama sore hari. Mereka adalah para pembantu atau baby sitter yang sedang ngerumpi dengan sesama pembantu. Beberapa kali, saat saya melewati mereka, saya terkejut. Semua gadis-gadis itu berbicara dalam bahasa yang sangat familiar di telinga saya: bahasa Brebes-Tegal. (Saya ini orang Ciledug yang lahir di Cirebon. Namun sejak tahun 1973, orang tua pindah ke Brebes. Sampai sekarang saudara-saudara saya banyak yang masih tinggal di Brebes. Karena itu saya sering disebut sebagai orang mBrebes!)

Saat pastor Anton Subianto OSC, wakil propinsial datang, saya ceriterakan tentang para pembantu rumah tangga itu. Dengan santai pastor Anton berkata: “Justru karena itu pastor di tempatkan di paroki ini; menjadi pelindung mereka!!”

Heri Kartono.