AKU MEMBERI! AKU MENDAPAT
Nama paroki itu Santa Helena. Berlokasi di daerah Tangerang dan masuk wilayah Keuskupan Agung Jakarta. Pada Januari 2012 lusa, Paroki Santa Helena genap berusia lima tahun. Sebuah usia yang pantas disebut belia. Walaupun berusia belia, Paroki Santa Helena sudah menunjukkan diri sebagai salah satu Paroki yang memberi kontribusi signifikan, tidak saja bagi umatnya, namun juga Keuskupan Agung Jakarta, bahkan Indonesia.
Berlokasi di wilayah prestisius Lippo Karawaci, Paroki Santa Helena sering disebut dengan paroki “kaya.” Sebutan ini muncul karena umatnya yang berasal dari Lippo Karawaci merupakan golongan masyarakat kelas atas. Tak heran apabila setiap misa, halaman gereja yang luas tidak mampu menampung ratusan mobil yang dijadikan sarana utama transportasi umatnya.
Pada usia menjelang lima tahun, Paroki Santa Helena sedang membangun gedung pastoran sekaligus gedung pertemuan. Tepat disamping gereja, kelak gedung pastoran ini akan menjadi gedung megah lagi indah. Seperti dengan paroki-paroki lain yang sedang membangun gereja ataupun pastoran, Paroki Santa Helena membutuhkan banyak dana. Aneka kegiatan dihelat untuk mencari sumber pendanaan ini.
Dalam konteks ini, Paroki Santa Helena layak diapresiasi. Di tengah dirinya sendiri jungkir balik menghimpun dana, tetap saja Paroki Santa Helena terbuka untuk berbagi dengan paroki atau lembaga gereja lain. Menjadi sebuah kejadian yang biasa manakala hampir setiap minggu paroki atau organisasi gereja yang tidak hanya sebatas Keuskupan Agung Jakarta namun lintas Keuskupan, mencari dana di Paroki Santa Helena. Mulai dari pembangunan gereja, panti asuhan, sekolah (pendidikan), hingga bencana alam. Bergantian mereka menghimpun dana di Paroki Santa Helena.
Saya belum pernah bertanya kepada Romo Heri Kartono OSC, Romo Kepala sekaligus penulis produktif majalah Hidup, menyoal fenomena ini. Yang ada dalam logika saya, para Romo dan anggota Dewan Paroki di Paroki Santa Helena mempraktikkan ajaran gereja dengan paripurna. Sederhananya, ajaran Gereja menuturkan jika kamu memberi, kamu akan mendapat. Semakin banyak memberi berbanding lurus dengan semakin banyak mendapat. Tanpa segan Paroki Santa Helena melalui umatnya membuka diri untuk berbagi kepada berbagai pihak yang bermaksud menghimpun dana disini.
Apakah umat yang dibombardir aneka sumbangan merasa jenuh, jengah dan jumpalitan atas kejadian ini? Ternyata tidak. Walaupun saya bukan umat Paroki Santa Helena, merasakan sendiri kehadiran umat justru semakin meningkat. Gedung gereja yang luas dipastikan tidak mampu menampung umat yang mengikuti misa kudus.
Apa yang terjadi di Paroki Santa Helena banyak pula dilakukan oleh paroki-paroki “kaya” yang ada di kota-kota besar di Indonesia. Walaupun sudah banyak, tetap saja kalah banyak dibanding dengan paroki-paroki ‘kaya’ dalam memperlakukan paroki atau lembaga gereja lain yang ingin menghimpun dana. Pengalaman saya dalam kegiatan karitatif di mana memerlukan bantuan gereja paroki untuk menghimpun dana, menghadapi hadangan tembok tebal, entah tembok itu dibangun oleh romo kepala atau birokrasi paroki yang tidak kalah ruwet dibanding birokrasi pemerintah Indonesia. Dengan berbagai alasan yang kadang masuk akal namun kadang jauh dari logika akal, banyak paroki menolak permohonan pihak lain.
Menghimpun dana dari sebuah paroki memang tidak diatur dengan ketat oleh Keuskupan. Intinya, pastor dan dewan paroki memiliki otonomi mutlak untuk memilih kelompok-kelompok mana yang memiliki peluang untuk menghimpun dana. Namun berbasis pada Gereja di Paroki Santa Helena, mengendurkan aturan dan membabat birokrasi yang rumit jauh lebih bijak ketimbang membangun tembok tebal atas nama melindungi umat dari gempuran permintaan sumbangan.
Tradisi menyumbang dan berbagai kegiatan sosial maupun karitatif sudah berlangsung lama pada lingkungan Gereja. Umat dengan kesadaran tinggi memiliki nurani untuk berbagi kepada sesamanya. Apalagi jika sesama itu anggota Gereja. Tak ayal umat dengan sukarela merogoh koceknya.
Pun bagi gereja sebuah paroki. Gereja tidak akan rugi ataupun ‘bangkrut’ jika umatnya banyak berderma pada organisasi lainnya. Umat juga tidak merasa tertekan dengan aneka sumbangan, karena sifat sumbangan ini sukarela. Bahkan terlihat umat berbondong-bondong menyumbang, tidak peduli berapa besar sumbangan itu.
Aku memberi maka aku mendapat, menjadi bahan homili yang sering dibawakan oleh para romo dengan berbagai versi. Homili ini akan menemukan relevansi manakala umat yang mendengar homili ini mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pun relevansi ini tambah berbobot apabila terjadi pada lingkungan paling dekat, yaitu gereja. Sudah pantas apabila gereja membuka diri untuk berbagi kepada sesama anggota gereja. Paroki Santa Helena sudah mempraktikkan. Bagaimana dengan gereja Anda? (dimuat di Majalah HIDUP edisi 20 November 2011).
A.M. Lilik Agung
lilik@highleap.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar